Al-Qur'an di Eropa: Catatan Kuliah Umum "The European Qur'an"

Pada Hari Kamis (20 Oktober 2022), Laboratorium Studi Qur’an dan Hadis (LSQH), bekerjasama dengan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prodi S-1 dan Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan kuliah tamu yang bertajukTheEuropean Qur’an: The Historyof the Text and Its Intellectual Legacy. Acara ini menghadirkan Prof. Roberto Tottoli, Rektor University of Naples L’Orientale, Italia selaku pembicara pertama dan didampingi oleh Dr.phil. Munirul Ikhwan, Sekretaris Prodi S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sebagai pembicara kedua. Acara ini diselenggarakan di Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dihadiri oleh 50 orang peserta dan disiarkan secara langsung di kanal YouTube LSQH UIN SUKA.

Acara ini dibuka dengan sambutan Prof. Dr. phil. Sahiron Syamsuddin, Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga dan prakata dari Direktur LSQH UIN Sunan Kalijaga, Dr.phil. Fadhli Lukman. Keduanya mengutarakan kebahagiaan mereka atas kedatangan Rektor University of Naples L’Orientale, Italia itu, sekaligus memperkenalkannya kepada audiens sebagai sosok penting dalam kajian Al-Qur’an di Eropa saat ini.

Bertindak sebagai moderator, Dr. phil. Mu’ammar Zayn Qadafy, dosen Prodi IAT UIN Sunan Kalijaga, memulai sesi utama dengan membacakanCurriculum Vitae(CV) Prof. Tottoli dan menyampaikan informasi singkat tentang empat proyek besar nan ambisius dalam riset Studi Qur’an di Eropa saat ini. Satu di antaranya adalah proyekTheEuropean Qur’anyang sedang dikerjakan oleh Prof. Tottoli dan beberapa koleganya.

Dalam pemaparan materinya, Prof. Tottoli selaku narasumber pertama berbicara tentang proyekTheEuropean Qur’anyang saat ini sedang ia lakukan. PenulisBiblical Prophets in the Qur’anitu juga terlebih dahulu memberikan klarifikasi terhadap pemilihan istilahTheEuropean Qur’andaripadaThe Qur’an in Europesebagai tajuk risetnya.

Tidak hanya menjadi teks yang “datang dan pergi begitu saja” tanpa meninggalkan legasi, baginya, Al-Qur’an telah menjadi salah satu elemen penting dalam perkembangan sejarah Eropa itu sendiri, khususnya dalam konteks sejarah pemikiran keagamaan. Munculnya proyekThe European Qur’an, yang disebut Tottoli sebagaichallenging project, tidak terlepas dari pengaruh dinamika kajian Al-Qur’an di Eropa dalam 15 tahun terakhir.

ProyekThe European Qur’anyang ia gawangi bahkan melibatkan sekitar 40 orang, yang berasal dari peneliti senior, peneliti pos-doktoral, dan mahasiswa Ph.D. Seluruhnya bekerja untuk beragam fokus riset dengan beragam kepakaran di bawah tajuk besar “Al-Qur’an Eropa”. Dua monograf, setidaknya telah diterbitkan oleh proyek ambisius ini;The Latin Qur’an, 1143-1500: Translation, Transition, Interpretation(2021) danThe Iberian Qur’an(2022).

Legasi awal Al-Qur’an dalam sejarah intelektual Eropa terlihat dalam konteks Kristen Latin (Latin Christendom) yang ditunjukkan dengan gerakan penerjemahan Al-Qur’an sejak Abad ke-12 M yang dimulai di Semenanjung Iberia (Spanyol-Portugal). Terjemah Al-Qur’an berbahasa Latin pertama ditulis oleh Robert of Ketton dan menjadi salah satu basis utama bagi terjemahan selanjutnya di Eropa. Dengan demikian, kajian filologis atas teks Al-Qur’an telah muncul di Latin-Eropa sejak dua abad sebelum Renaisans.

Di sela-sela presentasi, ia juga menjelaskan dinamika terjemahan Al-Qur’an hingga Abad ke-17 M dan sempat memperlihatkan salah satu gambar terjemahan interlinear (antar-baris) Al-Qur’an dalam Bahasa Latin yang ditemukan di Kairo, Mesir. Terjemahan itu ditulis oleh Johann Zechendorff (1580-1662). Ia mengakui adanya banyak kompleksitas yang harus diurai dalam proyek riset dengan temaTheEuropean Qur’antersebut.

Pada akhirnya, ia menekankan betapa Al-Qur’an, telah menjadi unsur penting dalam literatur polemik antara Katolik dan Protestan di Abad Pertengahan. Literatur polemis ini secara ambivalen memanfaatkan teks Al-Qur’an sebagai senjata untuk menyerang kelompok lainnya, baik dalam rangka menyerang maupun mendukung doktrin keagamaan tertentu dalam Kristianitas.

Ia mencontohkan seorang teolog Protestan yang mengkritisi doktrin trinitas sebagai “temuan” orang Katolik. Uniknya, salah satu sumber yang ia gunakan untuk memapankan argumentasinya adalah terjemahan Al-Qur’an Robert of Ketton yang diterbitkan kembali di Swiss dengan pengantar dari Martin Luther King.

Pembicara Kedua, Dr. phil. Munirul Ikhwan menyambung pembicaraan Prof. Tottoli dengan menguraikan sejauh mana tradisi pengkajian Al-Qur’an di Eropa berpengaruh terhadap studi Qur’an dalam pendidikan Islam modern. Ia memulai dengan membicarakan transformasi yang terjadi dalam lanskap Pendidikan Islam di Mesir. Meski tidak terjadi secaraindigenousdan lebih dibentuk oleh kebijakan kolonial Prancis yang didukung oleh beberapa otoritas Mesir, pembaruan Pendidikan Islam di negara tersebut telah menandai suatu fase penting dalam sejarah Islam di Abad ke-19 dan awal Abad ke-20 M.

Modernisasi Mesir telah dimulai sejak masa kepemimpinan Muhammad ‘Ali Pasha (berkuasa 1804-1849) yang mengirim beberapa staf untuk belajar ke Eropa. Salah satu dinamika yang terjadi berikutnya adalah diperkenalkannya pendidikan yang berbasis sistem sekular Barat. Ketika upaya modernisasi Al-Azhar tidak terlalu berhasil, pemerintah Mesir di masa Raja Fuad II akhirnya membuka King Fuad II University yang saat ini menjadi Cairo University. Tempat inilah yang menjadi corong pembaruan pemikiran keagamaan di Mesir dengan pengaruh yang signifikan dari kesarjanaan studi Islam di Eropa. Beberapa orientalis terkemuka saat itu seperti Louis Massignon bahkan didatangkan di sana.

Persentuhan inilah yang menstimulus gerakan reformis di kalangan Ulama Mesir ketika itu seperti yang diwakili Muhammad Abduh, Amin al-Khuli, dan Ahmad Khalafullah. Mereka terilhami untuk merumuskan cara-cara baru dalam menafsirkan Al-Qur’an melampaui pendekatan teologis.

Meski demikian, dinamika ini juga menuai kontroversi dari ulama setempat. Tidak hanya di Mesir, Munirul Ikhwan juga melihat kasus serupa terjadi di Indonesia, di mana seorang pemikir Muslim mencoba untuk merevitalisasi metodologi tafsir Qur’an dengan bantuan perspektif yang dipelajari di Barat, sebagaimana ditunjukkan Sahiron Syamsuddin yang mempopulerkan hermeneutika Al-Quran yang juga disambut dengan badai kontroversi.

Sebuah diskusi yang menarik juga terjadi dalam sesi tanya-jawab dari dua orang penanya. Dr. phil. Fadhli Lukman bertanya lebih lanjut kepada Tottoli terkait argumen yang disampaikan oleh Ziyad Elmarsafy dalam bukunyaThe Enlightenment Qur’anyang menggarisbawahi pengaruh Al-Qur’an terhadap sejarah intelektual Eropa, bahwa Al-Qur’an juga turut mengilhami modernitas Eropa.

Jika memang begitu, maka tesis modernitas dalam Islam, yang selama ini selalu disebut sebagai pengaruh dari pemikiran Eropa, harus ditinjau kembali. Tottoli merespons dengan menyediakan jawaban yang tidak definitif, mengingat kompleksnya persoalan. Yang jelas, ia menegaskan bahwa legasi Al-Qur’an di Eropa masih dan akan terus diungkap khazanahnya melalui riset-riset berkelanjutan.

Penanya kedua, M. Dluha Luthfillah, M.A. mengkonfirmasi lebih lanjut terkait penjelasan Tottoli terkait manuskrip yang berisi terjemahan antar-baris Al-Qur’an berbahasa Latin. Mengambil perbandingan dengan dengan konteks Indonesia, di mana terjemahan antar-baris menggambarkan situasi pedagogis, Dluha ingin tahu lebih lanjut apakah hal serupa juga terjadi pada konteks Eropa. Tottoli menjelaskan popularitas genre terjemahan Al-Qur’an tersebut di berbagai belahan dunia, seperti di Persia, akan tetapi situasinya lebih sulit bagi teks dengan arah baca kiri-ke-kanan, seperti Latin. Akan tetapi, Tottoli juga tidak menghindari klaim definitif dan merespons dengan memotivasi untuk melakukan riset lebih lanjut terkait khazanah tersebut.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler